Light Articles. Read Now!

Table of Content

Simpang Tiga Kota Tua - Episode 6 (Tamat): Cermin yang Terpecah

Dalam kesunyian itu, hanya ada satu benda yang terpampang di tengah ruangan: sebuah cermin besar dengan bingkai emas yang tergores, terlihat seolah-ol

simoang tiga kota tua

Bab 1: Menembus Kegelapan

Keempatnya berdiri di tengah-tengah ruang yang penuh dengan keheningan dan ketegangan. Cahaya biru yang menyelimuti ruangan mulai memudar, meninggalkan jejak-jejak cahaya samar di udara. Suara langkah-langkah yang tak terlihat kini terhenti, dan yang terdengar hanyalah desah napas mereka yang semakin cepat. Mereka semua tahu bahwa waktu sudah semakin menipis.

Clara Putri, penulis misteri berusia 28 tahun dengan rambut hitam panjang dan wajah yang tegas, merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia selalu percaya bahwa jawaban berada di balik setiap teka-teki yang ditulisnya, tetapi kali ini—setiap detik terasa seperti sebuah tantangan yang lebih besar dari kemampuan dirinya untuk menghadapinya. Keputusan yang mereka ambil beberapa detik yang lalu—untuk mencari cermin yang dimaksud oleh makhluk gelap itu—merupakan satu-satunya harapan yang tersisa. Clara merasa kekuatan yang luar biasa mengalir di sekitarnya, dan itu bukanlah kekuatan yang bisa dijelaskan dengan logika. Sesuatu lebih besar dari dunia yang pernah ia kenal sedang menanti.

Danu Pratama, detektif swasta berusia 32 tahun, tetap tenang meskipun hatinya berdebar hebat. Dengan wajah tegas dan kulit sawo matang yang selalu tampak licin dan bersih, Danu tidak pernah membiarkan emosinya menguasai dirinya hingga malam ini. Satu hal yang jelas di benaknya adalah bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah kasus yang bisa diselesaikan dengan otak dan logika. Ini adalah perangkap waktu, sebuah misteri yang berada jauh melampaui apa yang biasa ia tangani. Namun, nalurinya sebagai seorang detektif yang tajam memandunya untuk tetap fokus pada misi mereka. Mencari cermin itu adalah satu-satunya jalan keluar dari situasi yang semakin mencekam ini.

Laksamana Jati, pria tua berusia sekitar 65 tahun, seorang ahli sejarah dan penjaga Kota Tua, sudah melalui banyak hal dalam hidupnya, namun kali ini meskipun usianya yang sudah lanjut, ia merasakan sebuah ancaman yang tak bisa ditanggulangi dengan pengetahuan sejarah semata. Wajahnya yang keriput dan matanya yang tajam memancarkan kecemasan yang mendalam. Tangan yang memegang tongkat kayunya gemetar. Dengan pengalaman panjangnya, Laksamana tahu bahwa dunia mereka dan dunia yang dihuni oleh makhluk gelap ini tak bisa disatukan. Mereka tidak hanya berhadapan dengan rahasia kota, tetapi juga dengan entitas yang lebih tua dari sejarah itu sendiri.

Nadia Rizki, mahasiswi sejarah berusia 22 tahun, berusaha mengendalikan ketakutannya. Dengan mata hijau dan rambut ikal yang kini tampak kusut, ia menggenggam erat buku tua yang diberikan oleh Reynaldo. Buku itu sekarang terasa seperti benda yang paling penting di dunia. Setiap halaman yang dibaliknya seolah mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang lebih gelap dan lebih membingungkan. Nadia tak pernah membayangkan bahwa penelitiannya tentang sejarah kota akan membawanya ke dalam petualangan yang begitu menakutkan. Namun di balik ketakutannya, ada satu hal yang pasti: mereka harus menemukan cermin itu. Hanya dengan itu, mereka bisa menghentikan semua ini.

Mereka berempat memutuskan untuk pergi mencari cermin itu, walau mereka tidak tahu persis di mana cermin itu berada. Semua petunjuk yang mereka miliki berujung pada satu titik: Simpang Tiga Kota Tua. Sebuah tempat yang menyimpan sejarah kelam, tempat yang selama ini disembunyikan, dan mungkin, tempat di mana cermin yang terpecah itu berada.

Reynaldo, yang sebelumnya terlihat begitu ketakutan, kini menghilang dari pandangan mereka setelah memberi peringatan terakhir. Laksamana sempat melihat ke arah Reynaldo sebelum pria itu menghilang dalam bayangan gelap, seolah tertelan oleh kegelapan malam. “Kalian harus siap untuk menghadapi apa yang datang,” kata Reynaldo sebelum menghilang. Kata-kata itu kembali bergaung di kepala mereka, semakin menambah ketegangan.

Bab 2: Jalan Menuju Simpang Tiga

Mereka berempat berjalan menuju Simpang Tiga dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Jalanan kota tua itu tampak semakin sunyi seiring dengan langkah mereka. Setiap sudut kota ini terasa penuh dengan rahasia yang tak ingin terungkap. Dinding-dinding bangunan tua di sekitar mereka bercerita dengan cara yang hening, seperti menyimpan kisah-kisah yang hanya bisa didengar oleh mereka yang cukup berani untuk mendengarkan.

Clara melangkah dengan hati-hati, matanya menatap jalanan yang terhampar di depan mereka. Setiap langkah yang mereka ambil seakan menghantarkan mereka ke dalam masa lalu yang gelap. “Apa yang akan kita temui di sana?” tanya Clara, mencoba untuk memecah ketegangan. “Cermin itu... apa yang terjadi jika kita menemukannya?”

Danu mengangkat bahu. “Kita tidak punya pilihan selain mencarinya. Kita harus menghentikan semuanya—sebelum terlambat.”

Namun, Laksamana tidak menjawab. Sebagai seorang yang lebih berpengalaman, ia tahu bahwa pertanyaan itu tidak dapat dijawab dengan kata-kata. Mencari cermin itu bukanlah sekadar menemukan objek fisik. Cermin itu adalah gerbang menuju kebenaran yang lebih besar—sebuah kebenaran yang lebih mengerikan daripada yang bisa mereka bayangkan.

Setibanya di Simpang Tiga, mereka mendapati jalan yang mereka tuju tak berubah sedikit pun, meskipun malam semakin larut. Lampu-lampu jalan yang redup memberikan cahaya yang samar, sementara udara malam terasa semakin dingin, seolah kota ini menyembunyikan sesuatu yang menunggu untuk ditemukan. Mereka melangkah menuju sebuah bangunan tua di sudut, tempat yang selama ini mereka duga sebagai pusat dari segala misteri ini.

“Di sini,” kata Laksamana pelan, menunjuk ke arah sebuah pintu besar yang terbuat dari kayu gelap. “Ini adalah tempat pertama kita mencari.”

Bab 3: Cermin yang Terpecah

Pintu terbuka dengan suara berderak, dan mereka melangkah masuk ke dalam ruangan yang luas dan gelap. Dalam kesunyian itu, hanya ada satu benda yang terpampang di tengah ruangan: sebuah cermin besar dengan bingkai emas yang tergores, terlihat seolah-olah telah ada selama berabad-abad. Namun, ketika mereka mendekat, mereka menyadari bahwa cermin itu terpecah menjadi dua bagian—seolah menunggu untuk disatukan kembali.

Nadia adalah yang pertama mengangkat tangan, meraih salah satu bagian dari cermin yang terpecah. Saat tangannya menyentuh cermin, suara gemuruh tiba-tiba terdengar dari dalam tanah, dan seluruh ruangan bergetar hebat. Cermin itu mulai bersinar, dan bayangan dari mereka berempat tercermin dalam potongan cermin yang mengilap. Namun, ada sesuatu yang tidak wajar—bayangan mereka tidak bergerak mengikuti gerakan tubuh mereka. Sebaliknya, bayangan mereka bergerak lebih cepat, seperti sesuatu yang hidup, yang memiliki keinginan sendiri.

“Jangan sentuh itu!” teriak Laksamana, tetapi sudah terlambat.

Cermin yang terpecah mulai menyatu kembali dengan kekuatan yang mengerikan. Setiap sudut cermin memancarkan cahaya yang semakin terang, dan suara yang mengerikan mulai bergema di seluruh ruangan. Suara itu tidak berasal dari mereka, tetapi dari dalam cermin itu sendiri. Sebuah kekuatan gelap yang lebih besar dari apa pun yang bisa mereka bayangkan mulai bangkit.

Clara merasakan tubuhnya ditarik menuju cermin. “Ki..ki...ki...Ta harus menghentikan ini!” teriaknya, berusaha untuk meronta.

Namun, tangan Danu berhasil meraih lengan Clara. “Jangan biarkan diri kita terseret. Kita harus mencari cara untuk menghentikan kekuatan ini!”

Tapi, saat mereka berusaha mundur, suara dari cermin itu terdengar semakin kuat. Seolah-olah, cermin itu berbicara langsung ke pikiran mereka, menyampaikan sebuah pesan yang sangat jelas dan menakutkan.

"Kalian tidak akan bisa melarikan diri dari waktu yang terpecah. Kebenaran ini bukan milik kalian."

Dengan dorongan terakhir dari kekuatan gelap itu, mereka berhasil menghentikan cermin yang semakin mengarah pada kehancuran. Dengan usaha keras, Danu berhasil memecahkan salah satu potongan cermin yang menyatu, menghentikan cermin itu dari kekuatan yang berlebihan.

Tetapi saat cermin itu pecah, sebuah ledakan cahaya menyilaukan mengguncang seluruh bangunan. Keempatnya terjatuh ke lantai, tidak mampu bergerak.

Bab 4: Kebenaran yang Terungkap

Saat mereka bangun, semua terasa berbeda. Mereka berada di sebuah ruangan yang lebih terang, tanpa cahaya biru yang menakutkan, tanpa suara mengerikan dari dalam cermin. Dunia tampak seperti kembali normal, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Mereka tahu kebenaran yang selama ini mereka cari akhirnya terungkap.

Simpang Tiga Kota Tua bukanlah tempat yang menyimpan kegelapan yang nyata. Kota ini adalah cerminan dari waktu itu sendiri yaitu sebuah tempat di mana waktu dapat terpecah dan mengubah segalanya. Keempatnya kini memahami bahwa mereka telah memecahkan teka-teki yang lebih besar daripada apa pun yang bisa mereka bayangkan.

Dan di saat itu, mereka menyadari satu hal: kebenaran yang tersembunyi dalam Simpang Tiga Kota Tua tidak hanya mengubah masa lalu, tetapi juga masa depan. Mereka tidak hanya menemukan kunci untuk menghentikan kekuatan gelap itu, tetapi mereka juga menyadari bahwa sejarah dan waktu memiliki cara untuk kembali ke tempatnya.

Dengan nafas lega, mereka berjalan keluar dari bangunan tua itu. Meskipun mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, mereka tahu bahwa perjalanan mereka di Simpang Tiga Kota Tua akhirnya selesai.

Namun, di balik ketenangan itu, masih ada bayangan yang belum sepenuhnya menghilang.

TAMAT

Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar