Light Articles. Read Now!

Table of Content

Simpang Tiga Kota Tua - Episode 4: Hantu yang Tak Terlihat

Namun, yang paling menakutkan adalah aura yang memancar dari sosok itu sebuah aura yang bisa membuat siapa pun merasa tak berdaya.

 

simpang tiga kota tua

Bab 1: Peringatan Terakhir

Keempatnya berdiri diam di dalam ruangan besar yang dipenuhi dengan buku-buku tua dan simbol-simbol aneh. Pintu yang baru saja mereka buka kini tertutup rapat kembali, seolah ada kekuatan tak terlihat yang mengatur setiap gerakan mereka. Suara berat yang terdengar tadi berasal dari Reynaldo, pria misterius yang mereka temui sebelumnya. Kini, dengan wajahnya yang lebih jelas terlihat, mereka bisa melihat bahwa Reynaldo bukan hanya seorang penjaga rahasia—melainkan seseorang yang terjerat dalam kisah ini lebih dalam daripada yang mereka bayangkan.

Reynaldo adalah seorang pria bertubuh besar, mengenakan pakaian hitam yang tampak usang dan lecek. Kulitnya kasar dan berkerut, dan mata kelabu yang tajam itu menyiratkan ketakutan yang mendalam—bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk mereka. Usianya mungkin sekitar 50-an, meskipun garis-garis usia di wajahnya lebih menunjukkan seseorang yang telah hidup jauh lebih lama. Wajahnya yang keras dan penuh bekas luka membuatnya terlihat seperti seseorang yang telah menjalani banyak pertempuran—bukan hanya pertempuran fisik, tetapi juga pertempuran batin. Kini, pria itu berdiri dengan tatapan penuh peringatan.

“Jangan sentuh kotak itu,” ucap Reynaldo dengan suara berat dan parau. “Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi. Hanya orang-orang yang terkutuk yang mencoba membuka kebenaran di balik rumah ini.”

Clara Putri, penulis misteri yang telah banyak mengungkapkan kebenaran melalui kata-katanya, kini merasa terperangkap dalam labirin yang lebih berbahaya daripada yang pernah ia tulis dalam novelnya. Wajahnya yang cerah dan penuh semangat kini tampak lebih pucat, matanya yang biasanya penuh keyakinan sekarang dipenuhi ketegangan dan keraguan. Ia memegang buku tua yang diberikan oleh Reynaldo, buku yang kini semakin terasa seperti beban, bukan alat untuk mencari kebenaran. Clara tahu bahwa ia harus terus maju, tapi ketakutan mulai merayap dalam dirinya, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Jadi, apa yang akan terjadi jika kita membuka kotak itu?” tanya Clara, suaranya bergetar. “Apakah itu benar-benar seburuk yang Anda katakan?”

Reynaldo menatapnya tajam. “Bukan hanya kotak itu yang berbahaya. Ini tentang apa yang terkandung di dalamnya. Terkadang, kebenaran lebih mengerikan daripada yang kalian bayangkan. Dan kalian telah mengganggu sesuatu yang tidak bisa dihentikan lagi.”

Danu Pratama, detektif swasta yang terkenal dengan ketajaman pikirannya, berusaha tetap tenang. Namun, di balik sikap dinginnya, hati Danu bergejolak. Ia tidak pernah percaya pada hal-hal yang berbau mistis, dan sepanjang kariernya, ia selalu mengandalkan logika untuk memecahkan masalah. Namun, malam ini, meskipun usahanya untuk berpikir rasional, ia merasakan sesuatu yang sangat nyata. Ada ancaman yang teraba, sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau bukti fisik.

“Saya tidak peduli dengan cerita-cerita yang terdengar seperti mitos atau dongeng, Reynaldo,” kata Danu dengan nada serius. “Kami tidak akan mundur hanya karena Anda memberi peringatan. Kami sudah sampai sejauh ini. Jika ada kebenaran yang tersembunyi di dalam rumah ini, kami akan menemukannya.”

Wajah Reynaldo mengeras, dan dia melangkah maju, mendekat ke arah mereka. “Kalian tidak mengerti. Ini bukan sekadar kasus yang bisa kalian pecahkan dengan logika atau kecerdasan. Ini adalah perangkap yang sudah ada sejak berabad-abad lalu. Tidak ada yang keluar utuh dari sini. Bahkan saya sendiri, setelah bertahun-tahun mencoba mengungkap rahasia ini, merasa bahwa saya semakin dekat dengan kehancuran.”

Laksamana Jati, pria tua yang telah lama hidup di Kota Tua ini, mengangguk perlahan. Dengan kebijaksanaan yang datang dari usia dan pengalaman, ia tahu bahwa ini bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan cara biasa. Wajahnya yang dipenuhi keriput tampak lebih serius dari biasanya. Matanya yang tajam menatap kotak kayu kecil di atas meja, yang kini tampak lebih berbahaya dari sebelumnya. Laksamana tidak pernah gentar terhadap apa pun, namun kali ini, dia merasakan adanya ancaman yang lebih besar—suatu ancaman yang bisa merusak segalanya.

“Kita tidak tahu siapa yang benar-benar berada di balik semua ini,” kata Laksamana dengan suara yang dalam dan penuh kehati-hatian. “Tapi saya rasa, Reynaldo benar. Ada sesuatu di sini yang tidak bisa kita kendalikan.”

Nadia Rizki, yang sejak awal sudah merasa ketakutan, semakin bingung. Ia baru beberapa bulan tinggal di Kota Tua ini, namun rasanya, kota ini menyimpan begitu banyak hal yang tidak ia mengerti. Buku-buku sejarah yang ia pelajari di universitas kini terasa tidak cukup. Apa yang mereka hadapi lebih besar daripada sekadar rahasia sejarah. Ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan yang mengintai di balik segala ini. Nadia merasa tubuhnya gemetar, namun ia mencoba menahan diri untuk tidak menunjukkan kelemahannya.

“Apa yang kita lakukan sekarang?” Nadia bertanya dengan suara gemetar, mencoba mencari kepastian. “Apakah kita akan membuka kotak itu atau... meninggalkannya?”

Reynaldo menatap Nadia dengan tajam, seperti mencari sesuatu dalam dirinya. “Meninggalkan kotak itu adalah satu-satunya pilihan kalian. Jika kalian membuka kotak itu, kalian akan melepaskan sesuatu yang tidak bisa kalian kendalikan. Sebuah kutukan yang akan menghancurkan segala yang kalian cintai.”

Namun, sebelum mereka bisa memutuskan langkah berikutnya, tiba-tiba seluruh ruangan bergetar keras. Lantai di bawah mereka berderak, dan dinding-dinding rumah berderak seolah ada sesuatu yang terbangun dari dalam. Suara itu datang semakin kuat, seolah dari dasar tanah, menembus setiap sudut rumah. Sesuatu yang sangat besar sedang bergerak.

Clara terkejut, lalu menoleh ke arah kotak itu. “Apa itu? Apa yang terjadi?” tanyanya dengan cemas.

Danu segera menarik mereka menjauh dari meja, sementara Laksamana berlari ke arah jendela untuk melihat ke luar. Namun, tak ada yang terlihat aneh. Semua tampak biasa. Kecuali udara yang semakin tebal dan berat.

“Kita harus pergi dari sini,” ujar Laksamana, wajahnya tampak sangat tegang.

Namun, Reynaldo menghentikannya. “Tidak ada tempat yang aman di sini,” katanya pelan, penuh keputusasaan. “Kalian telah membangkitkan sesuatu yang lebih tua dari kota ini. Sekarang, kalian harus siap menghadapinya.”

Pintu di ujung ruangan terbuka dengan sendirinya, dan sebuah cahaya merah yang berkilau muncul dari dalam, menerangi seluruh ruangan dengan cahaya yang hampir membutakan. Keempatnya saling memandang, dan mereka tahu bahwa ini bukanlah akhir dari perjalanan mereka—melainkan awal dari teror yang lebih besar.

Di dalam cahaya itu, terlihat bayangan seseorang yang sangat tinggi dan gelap, bergerak mendekat dengan langkah perlahan. Dari bayangan itu, terdengar suara yang dalam dan mengerikan, seperti suara dari dunia lain.

“Selamat datang di dunia yang terlarang,” suara itu bergema di seluruh ruangan.

Semua yang ada di dalam rumah itu merasa seolah-olah mereka terjebak dalam labirin waktu, terperangkap dalam perangkap yang lebih jahat dari yang mereka bisa bayangkan. Mereka baru menyadari bahwa di balik setiap pintu yang mereka buka, ada kebenaran yang lebih gelap dan lebih berbahaya yang menunggu.

Dengan langkah yang penuh ketakutan, keempatnya melangkah maju, meskipun mereka tahu bahwa tidak ada jalan keluar yang mudah dari rumah ini. Mereka telah melangkah terlalu jauh. Rahasia Simpang Tiga Kota Tua kini menuntut balasannya.

Bab 2: Hantu yang Tak Terlihat

Saat langkah-langkah mereka semakin mendekat ke bayangan gelap itu, udara terasa semakin dingin. Angin berhembus dengan keras melalui celah-celah dinding, dan suara berdesir dari dalam ruang itu seolah menyatu dengan suara gemuruh di luar. Clara, Danu, Laksamana, dan Nadia merasakan suasana yang semakin menegangkan.

Bayangan yang semula hanya terlihat samar kini semakin jelas, sebuah sosok tinggi yang berbentuk manusia, tetapi dengan wajah yang sulit dikenali, seperti wajah yang dipenuhi bayangan hitam. Wajah itu tampak kabur, seolah bukan manusia, dan matanya yang besar kosong seperti dua lubang hitam yang menatap mereka tanpa ekspresi. Namun, yang paling menakutkan adalah aura yang memancar dari sosok itu sebuah aura yang bisa membuat siapa pun merasa tak berdaya.

“Apakah ini yang kalian cari?” suara itu bergema, kali ini lebih keras, menggetarkan seluruh tubuh mereka. “Kalian telah membuka jalan yang tak bisa kalian tutup.”

“Siapa Anda?” teriak Clara

, suaranya pecah. “Apa yang Anda inginkan?”

Sosok itu terdiam sejenak, lalu perlahan mengangkat tangannya yang panjang dan kurus, seperti menyentuh udara. “Saya adalah penjaga kebenaran. Tetapi kebenaran ini bukan untuk kalian.”

Ketegangan semakin memuncak. Keempatnya kini tahu bahwa mereka tidak hanya berhadapan dengan rahasia yang tersembunyi selama berabad-abad. Mereka menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya, sebuah kekuatan yang tidak bisa mereka hadapi dengan logika atau bahkan keberanian.

Bayangan itu semakin mendekat, dan keempatnya kini harus memilih apakah mereka akan terus maju dan mencari jawaban, atau mundur dan meninggalkan kota yang mereka cintai selamanya?

Namun, di dalam kegelapan yang pekat, mereka tidak tahu bahwa ini hanyalah permulaan dari mimpi buruk yang tak terhindarkan...

Bersambung ke Episode 5: Cermin di Ujung Waktu

Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar