Menjaga Ambang Perang
Keheningan di dalam ruangan itu semakin mencekam. Angin yang berhembus dari luar rumah membawa bau lembap tanah dan daun yang membusuk, menambah berat atmosfer yang telah mengisi rumah tua peninggalan Belanda ini. Alya berdiri di depan patung batu itu, tubuhnya kaku, matanya tajam menatap patung tersebut. Rasanya, patung itu sendiri hidup, menantangnya untuk berbuat sesuatu. Sesuatu yang akan mengubah segalanya.
Budi berdiri beberapa langkah di belakangnya, matanya berkaca-kaca. "Mbak Alya, saya tidak tahu apakah ini yang terbaik," ujarnya dengan suara gemetar. "Kapten van de Velde mungkin sudah salah memilih jalan, tapi… tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi jika patung itu dihancurkan."
"Apa yang akan terjadi lebih buruk dari yang sudah terjadi, Pak Budi?" kata Alya, suaranya penuh tekad. "Kita sudah hampir sampai di sini. Rumah ini penuh dengan kegelapan dan rahasia yang mengerikan. Kita harus menghentikan semuanya sebelum sesuatu yang lebih buruk datang ke dunia kita."
Budi menghela napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan di dalam dadanya. Ia tahu bahwa mereka sudah terlalu jauh untuk mundur. Rumah ini, yang selama bertahun-tahun terlarang, kini menyimpan kunci untuk membebaskan atau mengikat mereka pada nasib yang tak bisa mereka duga.
Alya berbalik, menatap Budi dengan tatapan yang penuh makna. "Pak Budi, apakah Anda siap dengan apa yang akan kita hadapi? Saya yakin ini adalah satu-satunya cara untuk mengakhiri semuanya."
Budi menatap Alya sejenak, kemudian mengangguk perlahan. "Saya siap, Mbak. Tetapi, Anda harus ingat, kita tidak hanya berhadapan dengan buku atau patung. Kita berhadapan dengan sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang tidak bisa kita pahami."
Alya mengangguk dan melangkah maju, menghampiri patung itu. Ia merasa jantungnya berdegup kencang, dan meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak tampak takut, rasa khawatir merayapi dirinya. Sesuatu yang aneh mulai terasa di udara—sesuatu yang lebih besar daripada ketakutannya. Ia tahu bahwa jika patung ini tidak dihancurkan, dunia mereka akan terus berada di ambang kehancuran.
Patung itu, meskipun tampak seperti benda mati, kini seakan memiliki aura yang mencekam. Bentuknya yang setengah manusia dan setengah makhluk asing itu membuat Alya merasa seolah-olah sedang melihat langsung ke dalam kedalaman kegelapan yang tersembunyi di dunia ini. Mata patung itu, meskipun terbuat dari batu, tampak seperti menatap langsung ke dalam jiwanya, mengintip segala ketakutan yang ada di dalam dirinya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Alya meraih alat pemukul yang terletak di meja di sampingnya. Sebuah palu besar yang terbuat dari besi tua, penuh dengan karat. Ini adalah alat terakhir yang mereka miliki untuk menghancurkan patung itu. Alya menarik napas panjang, lalu dengan sekuat tenaga, memukul patung itu.
Kraakk!
Suara retakan keras terdengar memenuhi ruangan. Batu itu pecah, dan seketika itu pula, seluruh ruangan seakan bergetar hebat. Lampu-lampu redup yang menggantung di langit-langit berkelip-kelip, dan sebuah suara yang dalam dan mengerikan mulai mengisi udara. Alya terpaku, menyaksikan bagaimana bagian-bagian dari patung itu hancur, tetapi tidak ada kehampaan yang datang. Sebaliknya, bagian yang hancur itu mulai menyemburkan bayangan-bayangan hitam pekat yang menjalar ke segala arah.
"Tidak! Jangan!" teriak Budi, namun sudah terlambat.
Bayangan-bayangan itu seperti tentakel yang bergerak, menyusup ke setiap sudut ruangan dengan kecepatan yang tak terbayangkan. Udara semakin panas, dan Alya merasa seperti ada sesuatu yang besar sedang bergerak di dalam kegelapan ini, seakan siap untuk melahap semuanya.
Alya, dengan tekad yang tak tergoyahkan, terus memukul patung itu. Setiap pukulan yang mengenai batu mengeluarkan suara yang lebih keras, semakin membuka celah di dalam patung. Semakin hancur patung itu, semakin kuat pula kegoncangan yang terjadi di seluruh rumah. Tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar, dan dinding-dinding rumah itu mengeluarkan suara gemeretak, seperti sedang berusaha melepaskan diri dari sesuatu yang mengikatnya.
Kemudian, dengan pukulan terakhir yang sangat kuat, patung itu akhirnya hancur berkeping-keping. Begitu kepingan terakhir dari patung itu jatuh ke tanah, semuanya terhenti dalam sekejap.
Kejatuhan Rumah Tua
Keheningan yang menyusul terasa sangat menekan. Tidak ada lagi suara angin, tidak ada lagi suara detak jam, hanya hening yang berat. Alya dan Budi berdiri di tengah-tengah ruangan yang hancur, terengah-engah, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Patung itu telah hancur, tetapi entitas yang pernah terperangkap di dalamnya sepertinya belum sepenuhnya lenyap.
Tiba-tiba, Alya merasakan sebuah hembusan angin dingin yang menyentuh tengkuknya. Suara bisikan mulai terdengar di telinganya—suara lembut yang seolah datang dari jauh, namun penuh dengan kekuatan yang menakutkan.
“Kalian telah membuka gerbang.”
Alya menoleh cepat. Bayangan hitam mulai bergerak di seluruh ruangan, tetapi kali ini bukan lagi bayangan yang tak berbentuk. Itu adalah sosok-sosok yang memiliki bentuk, makhluk yang hampir tampak manusiawi namun dengan wajah yang tergelapkan dan penuh dengan ekspresi kebingungan dan penderitaan.
“Kalian tidak tahu apa yang telah kalian lakukan.” Suara itu semakin kuat, datang dari segala arah. Setiap sudut ruangan tampaknya dipenuhi oleh suara itu, mengisi setiap celah dengan kesedihan yang mendalam.
Budi, yang kini terlihat sangat takut, terjatuh ke lantai. “Mbak Alya, kita harus keluar dari sini! Semua ini tidak seharusnya terjadi!”
Namun Alya, meskipun tubuhnya gemetar, tidak bergerak. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Mereka sudah terlalu dalam dalam kegelapan ini. Jika mereka ingin menyelamatkan diri dan mengakhiri kutukan rumah ini, mereka harus menghadapi apa yang ada di depan mereka.
“Kalian telah membuka gerbang,” bisik suara itu lagi, semakin mendalam, semakin mengerikan. “Sekarang, kalian harus membayar harganya.”
Sekelompok bayangan melayang mendekat. Alya bisa merasakan tangan dingin yang tak tampak menyentuh kulitnya. Di hadapannya, berdiri sosok yang lebih besar dari yang lain—makhluk yang tampaknya menjadi pemimpin dari semua entitas ini. Wajahnya tidak dapat dikenali, seperti bayangan hitam pekat, namun mata kosongnya menatap Alya dengan penuh kebencian.
Namun, saat makhluk itu melangkah lebih dekat, Alya merasakan sesuatu yang berbeda. Keberanian yang tumbuh dalam dirinya sejak pertama kali memasuki rumah tua ini tiba-tiba menguat. Meskipun suara bisikan itu menggetarkan jiwa, ia tahu satu hal—tidak ada jalan mundur.
Dengan satu gerakan yang cepat, Alya menarik sebuah benda dari saku jasnya—sebuah pisau kecil yang ia bawa sebagai alat pertolongan pertama. Benda itu adalah simbol perlindungannya, sesuatu yang ia bawa sebagai pengingat bahwa meskipun dia berada di tengah kegelapan, ia tidak akan pernah menyerah.
"Apa pun yang kamu coba lakukan, aku tidak akan mundur," teriak Alya dengan suara lantang, seakan menantang makhluk itu.
Makhluk itu berhenti sejenak, dan di dalam kegelapan, Alya bisa merasakan perubahan. Entitas-entitas di sekitarnya berhenti bergerak, dan ruang itu menjadi sangat sunyi. Seolah-olah makhluk itu sedang merenungkan kata-katanya.
"Ada keberanian dalam dirimu," suara itu terdengar lebih tenang. "Namun, keberanian itu tidak akan cukup."
Alya, dengan tangan yang masih memegang pisau itu, melangkah maju. "Saya tidak peduli. Ini adalah akhir dari semua ini."
Dalam sekejap, Alya melayangkan pisau ke depan, langsung menuju sosok utama yang menghadapinya. Sebuah cahaya terang yang memancar dari pisau itu membuat makhluk itu terhuyung mundur, dan dalam kilatan cahaya itu, suara mengerikan itu berubah menjadi jeritan panjang yang menggema di seluruh rumah. Rumah tua ini, yang telah lama terperangkap dalam kutukan dan bayangan, akhirnya hancur bersama dengan entitas yang mendiaminya.
Dengan gemuruh yang menggelegar, rumah itu mulai runtuh. Dinding
-dindingnya retak, langit-langitnya runtuh, dan tanah di bawah mereka bergetar hebat. Namun, di tengah kehancuran itu, Alya dan Budi berdiri, menyaksikan bagaimana bayangan-bayangan itu menghilang satu per satu, tertelan oleh kegelapan yang kembali ke tempatnya.
Bangkitnya Cahaya Baru
Beberapa jam kemudian, ketika debu dan asap mulai menghilang, hanya ada sisa-sisa reruntuhan dari rumah tua peninggalan Belanda itu. Alya dan Budi berdiri di luar puing-puingnya, kelelahan namun lega. Mereka telah mengakhiri kekuatan yang menguasai tempat itu.
Alya menatap ke langit yang kini cerah. "Kita berhasil, Pak Budi. Rumah ini akhirnya bebas."
Budi mengangguk, meskipun wajahnya masih tampak lelah. "Ya, Mbak. Tetapi ingat, kita tidak akan pernah tahu apa yang benar-benar ada di balik semua ini. Ada banyak misteri yang tetap tersembunyi."
Alya tersenyum. "Itulah yang akan selalu kita cari tahu."
Dengan langkah pasti, mereka berdua meninggalkan reruntuhan rumah tua itu, dan dengan itu, kisah Rumah Tua Peninggalan Belanda pun berakhir. Tapi, bagi mereka, perjalanan mencari kebenaran belum berakhir.
Tamat.