Light Articles. Read Now!

Table of Content

Rumah Tua Peninggalan Belanda Episode 3: Bayang-Bayang di Lorong Terkunci

Alya merasakan udara menjadi semakin dingin, dan setiap langkahnya terdengar begitu keras di telinga.

 rumah tua peninggalan belanda

Kegelapan yang Menyatu

Keheningan yang mencekam menguasai ruang bawah tanah rumah tua itu. Alya dan Budi berdiri terdiam dalam gelap, hanya suara napas mereka yang terdengar samar-samar. Lampu minyak yang sebelumnya menyala kini padam tanpa peringatan. Ruangan itu, yang seharusnya tenang, terasa semakin berat, seolah ada sesuatu yang sedang mengintai mereka dari balik bayang-bayang gelap.

"Apa yang terjadi?" Alya akhirnya berbisik, suaranya sedikit bergetar. "Ada apa di sini?"

Budi, yang tampak semakin gelisah, hanya bisa menggigit bibirnya. Matanya yang biasanya tenang kini tampak penuh kecemasan. "Saya… saya tidak tahu. Tidak pernah seperti ini sebelumnya."

Suasana semakin menegangkan, seakan waktu berhenti bergerak. Alya merasakan udara menjadi semakin dingin, dan setiap langkahnya terdengar begitu keras di telinga. Ia mencoba mencari sumber suara yang mendekat, tetapi apa yang ia temui hanya kegelapan yang semakin menelan mereka. Pintu ruang bawah tanah yang tadi tiba-tiba tertutup kini menjadi penghalang yang tak bisa mereka buka.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar lagi, lebih jelas, lebih dekat. Langkah-langkah itu berat, penuh dengan tekad, seakan ada sesuatu yang bergerak menuju mereka. Alya merasakan perasaan aneh yang menghimpit dadanya. Sesuatu yang buruk akan terjadi, dan mereka tidak bisa menghindarinya.

"Pak Budi, kita harus keluar dari sini!" Alya berkata dengan cepat, berusaha menjaga ketenangannya. "Ada sesuatu di sini. Sesuatu yang tidak boleh kita hadapi sendirian."

Namun, Budi hanya berdiri diam, matanya kosong, seperti terhipnotis oleh sesuatu yang tak terlihat. "Saya sudah mencoba untuk melarikan diri dari rumah ini, tetapi tidak ada yang bisa keluar dari sini. Ini adalah kutukan."

Alya merasa hatinya berdebar lebih cepat. "Kutukan? Apa maksudnya? Apa yang Anda sembunyikan?"

Budi tidak menjawab. Ia hanya menatap ke ruang kosong di depan mereka dengan tatapan yang kosong dan terkejut, seakan melihat sesuatu yang hanya bisa dilihat oleh mata-mata yang terperangkap dalam bayang-bayang dunia lain. Dalam kegelapan itu, Alya mulai merasakan sesuatu yang sangat berbeda, sesuatu yang bukan hanya berasal dari tempat fisik ini, tetapi juga dari lapisan waktu yang tak tampak.

Penampakan yang Terlupakan

Tiba-tiba, sebuah cahaya redup muncul dari balik bayang-bayang yang gelap. Cahaya itu semakin terang, dan seiring dengan datangnya cahaya, suara langkah kaki itu berhenti. Di tengah-tengah ruang bawah tanah yang gelap, tampak sosok seorang pria berdiri di ujung ruangan, mengenakan pakaian seragam Belanda kuno. Wajahnya yang tampan namun dingin itu terlihat sangat mematung, matanya tertutup rapat seperti sedang terlelap dalam tiduran panjang. Sosok ini—berdiri tanpa bergerak sedikit pun—menyiratkan aura yang tak bisa dijelaskan.

Alya hampir tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Sosok pria itu, yang terlihat nyata dan jelas, seolah-olah keluar dari ruang waktu yang telah lama terlupakan. Sesaat kemudian, pria itu membuka matanya, dan Alya merasakan sesuatu yang sangat dingin menyentuh hatinya. Mata pria itu tidak terlihat manusiawi. Ada sesuatu yang salah dengan pandangan tajam itu—sesuatu yang menembus hingga ke relung terdalam pikiran.

"Apa ini?" Alya berbisik dengan gemetar, tubuhnya bergerak mundur tanpa sadar.

Budi, yang tampaknya terkejut melihat penampakan itu, mulai bergetar. "Itu… dia. Itu adalah perwira Belanda yang tinggal di sini dulu. Namanya Kapten Frederik van de Velde."

Alya menatap Budi dengan tatapan bingung. "Apa yang terjadi padanya? Apa yang dia lakukan di sini?"

Budi mengangguk perlahan. "Dia adalah pemilik rumah ini—seorang perwira yang sangat dihormati pada masanya, tetapi juga sangat kejam. Dia terlibat dalam banyak peristiwa buruk selama masa kolonial, dan ada desas-desus bahwa dia menggunakan rumah ini untuk ritual-ritual gelap. Namun, suatu malam dia hilang tanpa jejak, dan sejak itu rumah ini mulai dipenuhi dengan cerita-cerita aneh. Orang-orang yang tinggal di sini selalu merasakan kehadirannya, bahkan setelah kematiannya."

Alya terdiam, mencoba menyerap informasi itu. Keberadaan sosok Kapten van de Velde di ruang bawah tanah ini adalah petunjuk yang tidak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang tidak beres, dan Alya merasa bahwa kisah tentang rumah ini lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.

"Apa yang terjadi dengan rumah ini setelah dia menghilang?" tanya Alya, matanya tetap tertuju pada sosok Kapten yang kini mulai menghilang dalam kabut tipis, seolah tersedot kembali ke dalam dimensi lain.

Budi merinding, seolah mengingat kembali kejadian-kejadian mengerikan yang telah terjadi. "Setelah dia hilang, banyak orang mencoba tinggal di rumah ini, tetapi mereka selalu pergi dengan cepat. Mereka melaporkan hal-hal aneh: suara-suara dari dalam dinding, pintu yang terbuka sendiri, dan penampakan seperti yang baru saja kita lihat. Tidak ada yang bisa bertahan lama."

Alya merasakan dirinya semakin tertarik dengan misteri ini, tetapi juga semakin terjerat dalam kegelisahan yang mencekam. Ini bukan sekadar rumah tua yang ditinggalkan. Ini adalah tempat yang memiliki kekuatan, sesuatu yang terhubung dengan masa lalu yang tidak ingin diketahui.

"Pak Budi, kita harus menemukan apa yang terjadi pada Kapten van de Velde. Apa yang dia lakukan di sini? Apa yang dia sembunyikan?" Alya berkata dengan penuh tekad.

Budi hanya menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu lagi. Saya hanya bisa menjaga rumah ini, tapi saya tidak bisa melawan apa yang ada di sini."

Pintu yang Terlupakan

Alya memutuskan untuk melanjutkan pencariannya meskipun Budi tampaknya sudah kehilangan harapan. Setelah beberapa saat diam, Budi akhirnya mengarahkan Alya ke sebuah lorong sempit yang terletak di sudut ruang bawah tanah. Lorong itu, yang sebelumnya tidak terlihat, terhubung dengan sebuah pintu kecil yang tampaknya sudah terkunci rapat sejak lama.

"Ini pintu yang menuju ruang yang lebih dalam lagi," kata Budi dengan suara pelan, penuh ketakutan. "Tidak ada yang pernah membuka pintu ini. Tidak ada yang tahu apa yang ada di sana."

Alya menatap pintu itu dengan rasa penasaran yang semakin mendalam. Pintu itu terbuat dari kayu hitam yang tampak kokoh, dengan ukiran rumit yang terlihat seperti simbol-simbol kuno. Di atasnya, ada sebuah papan kecil yang tertulis dengan tinta pudar: "Dilarang masuk."

Tanpa ragu, Alya mengambil kunci yang ditemukan sebelumnya di meja dan mencoba membuka pintu tersebut. Ketika kunci itu berputar, terdengar suara gemeretak keras, seakan pintu itu telah lama tidak dibuka. Ketika pintu terbuka perlahan, sebuah udara dingin menyeruak keluar, membawa bau tanah dan kelembapan yang khas.

Di balik pintu itu, terdapat sebuah ruangan kecil yang penuh dengan rak-rak kayu yang berisi berbagai benda aneh. Di tengah ruangan, ada sebuah meja besar yang tertutup oleh kain hitam, dengan sebuah benda besar yang tersembunyi di bawahnya. Sesuatu yang tampaknya sangat penting. Sesuatu yang telah lama disembunyikan.

Alya melangkah maju dengan hati-hati, merasakan atmosfer tegang yang semakin menebal di dalam ruangan itu. Ia menarik kain hitam itu perlahan, dan ketika kain itu terangkat, sebuah benda besar yang terbuat dari logam kuno terlihat tergeletak di atas meja—sebuah peti tua, terukir dengan simbol yang sangat mirip dengan yang ada di dinding rumah ini.

Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki dari belakang. Alya membalikkan badan dengan cepat, dan melihat Budi berdiri di pintu, wajahnya pucat, mata terbuka lebar penuh rasa takut.

"Jangan buka itu!" teriak Budi dengan suara hampir putus asa. "Itu… itu adalah peti yang menyimpan semua rahasia yang seharusnya tetap terkubur."

Alya menatap peti itu, merasa seolah ia telah menemukan titik balik dalam penyelidikannya. Apa yang ada di dalam peti itu? Dan mengapa Budi begitu takut?


Tunggu Episode 4 untuk mengetahui apa yang terjadi selanjutnya.

Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar