Light Articles. Read Now!

Table of Content

Laila Akira Episode 6

Hujan turun deras di malam yang dingin ketika Laila Akira dan Bima terjebak di dalam gua Lumbung Bintang.

Laila Akira Episode 6

Hujan turun deras di malam yang dingin ketika Laila Akira dan Bima terjebak di dalam gua Lumbung Bintang. Bayangan mereka menari di dinding gua akibat sinar lentera yang mulai meredup. Di kejauhan, suara langkah kaki bergema, semakin mendekat. Laila menghela napas, berusaha tetap tenang.

"Kita harus sembunyi," bisik Bima.

Laila mengangguk. Ia menarik Bima ke sudut gelap di belakang sebuah batu besar. Mereka mematikan lentera, membiarkan kegelapan menyelimuti mereka. Dalam hening, mereka mendengar langkah-langkah itu semakin keras. Suara-suara samar terdengar, bahasa asing bercampur dengan dialek Jawa kasar. Mereka membawa lampu senter, cahayanya menembus lorong gua.

Laila memperhatikan para pria itu. Setidaknya ada tiga orang, masing-masing membawa senjata. Salah satunya, pria bertubuh besar dengan bekas luka di pipi, tampak memimpin. Mereka berhenti di depan prasasti besar yang baru saja Laila dan Bima temukan.

"Ini tempatnya," kata pria dengan luka di pipi. "Kita harus menemukannya sebelum orang lain mendahului."

Laila memutar otak dengan cepat. Mereka harus keluar dari situ, tapi setiap langkah akan terdengar jelas di gua sempit ini. Ia merogoh kantongnya, mencari sesuatu yang bisa digunakan. Tangannya menyentuh korek api kecil.

"Aku punya ide," bisiknya ke Bima. "Tunggu sinyalku."

Dengan hati-hati, Laila menyelinap ke sisi lain gua, mendekati tumpukan batu kecil. Ia menyalakan korek api dan membakar selembar kertas dari catatan kecilnya, lalu melemparkannya ke arah seberang. Api kecil menyala, cukup untuk menarik perhatian para pria itu.

"Apa itu?" salah satu dari mereka berseru.

Ketiganya bergerak ke arah api, meninggalkan prasasti tanpa penjagaan. Laila memberi isyarat kepada Bima untuk bergerak. Mereka melangkah perlahan menuju lorong keluar. Tapi sebelum mereka mencapai mulut gua, suara teriakan terdengar.

"Hei! Siapa di sana?!"

Kejadian berikutnya berlangsung cepat. Para pria itu berlari mengejar mereka, dan Laila serta Bima berlari sekuat tenaga melalui lorong gelap yang licin. Langit di luar masih diguyur hujan lebat ketika mereka akhirnya mencapai pintu keluar. Tanah yang becek membuat langkah mereka goyah, tetapi mereka terus berlari tanpa menoleh.

"Ke sini!" Bima menarik Laila menuju semak-semak lebat di sisi kanan gua. Mereka bersembunyi di baliknya, menahan napas saat para pria itu keluar dan mencari-cari di sekitar gua.

"Mereka tidak akan jauh," kata pria dengan luka di pipi. "Cari di sekitar sini."

Namun, keberuntungan berpihak pada Laila dan Bima. Setelah beberapa menit, para pria itu menyerah dan kembali masuk ke gua. Ketika keadaan kembali tenang, Laila dan Bima keluar dari persembunyian mereka dan berjalan menjauh dengan hati-hati.

Keesokan paginya, di sebuah warung kecil di pinggir desa Kalidadap, Laila dan Bima duduk dengan secangkir teh hangat dan sepiring gorengan. Wajah mereka terlihat letih, tetapi mereka berhasil keluar dari bahaya.

"Kita harus mencari tahu siapa mereka," kata Bima. "Mereka jelas bukan orang biasa."

"Dan kenapa mereka juga mengejar prasasti itu?" tambah Laila. Ia menatap catatan-catatan yang ia tulis semalam. "Prasasti itu pasti menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar cerita lama."

Mereka memutuskan untuk kembali ke Jogja dan menyelidiki lebih lanjut. Di kantor Lentera Nusantara, Laila mulai memeriksa dokumen-dokumen yang mereka kumpulkan. Salah satu naskah kuno dari peti kuno mencantumkan peta yang menunjukkan lokasi-lokasi lain di sekitar Merapi. Namun, ada satu nama yang menarik perhatiannya: "Astana Langit."

"Astana Langit?" tanya Bima. "Sik..sik..sik, koyone aku wis tau krungu jenenge kui (Aku pernah dengar nama itu.) Kui nek rasalah situs kuno sing dipercoyo panggonan pemujaan bintang nenek moyangvawake dewe (Itu situs kuno yang diyakini sebagai tempat pemujaan bintang oleh nenek moyang kita)."

Laila mengangguk. "Dan aku yakin itu tujuan akhir Willem van Bruggen. Kalau kita bisa menemukan tempat itu, mungkin kita bisa mengungkap misteri ini sepenuhnya."

Namun, sebelum mereka sempat merencanakan perjalanan ke Astana Langit, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ketika mereka kembali ke kantor setelah makan siang, mereka menemukan pintu kantor sudah terbuka. Di dalam, berkas-berkas berserakan, meja-meja berantakan, dan komputer-komputer mereka dirusak.

"Seseorang jelas tidak ingin kita melanjutkan penyelidikan ini," kata Laila sambil memeriksa kerusakan.

Bima menemukan secarik kertas yang ditinggalkan di meja utama. Di atasnya tertulis: "Hentikan sekarang, atau kau akan menyesal."

Laila meremas kertas itu dengan marah. "Mereka pikir ini akan menghentikan kita? Salah besar."

Namun, ancaman itu membuat segalanya semakin rumit. Mereka menyadari bahwa musuh mereka bukan hanya orang-orang yang mereka temui di gua, tetapi organisasi besar dengan sumber daya yang cukup untuk melacak dan mengancam mereka.

Kejadian siang di kantor itu membuat Laila dan Bima bersiap untuk perjalanan berikutnya. Di tengah tekanan dan ancaman, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur. Rahasia bintang terus memanggil, dan kebenaran yang tersembunyi di Astana Langit mungkin menjadi kunci untuk mengakhiri misteri yang semakin dalam.

Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar