Hujan deras mengguyur Jogja malam itu, membuat jalanan licin dan penuh genangan air. Di balik jendela kaca kantor Lentera Nusantara, Laila Akira duduk sambil menikmati kopi hitam pahit yang mulai dingin sembari mempelajari dokumen-dokumen yang ia temukan di peti kuno dari villa tua di Kaliurang. Di sampingnya, sebuah gorengan yang mulai mendingin dan sebuah buku catatan penuh dengan tulisan tangan rapi. Bayangannya terpancar samar di permukaan meja yang dipenuhi berkas-berkas."Laila, wis delok iki rung (kamu sudah lihat ini)?" tanya Bima, yang tiba-tiba muncul dari dapur kecil dengan dua cangkir kopi baru.
Ia meletakkan sebuah foto hitam-putih di atas meja. Foto itu menunjukkan sekelompok pria dan wanita berpakaian formal, berdiri di depan sebuah bangunan besar. Di sudut foto, tertulis tahun 1935.
"Iki foto opo (Ini foto apa) mas?" Laila menatap foto itu dengan seksama. Salah satu pria di foto itu memegang cincin dengan ukiran bintang yang sama seperti yang mereka temukan di peti.
"Aku menemukannya di arsip lama perpustakaan kota. Pria itu adalah Willem van Bruggen, seorang arkeolog Belanda yang terkenal saat itu. Kabarnya, dia menghilang secara misterius saat melakukan penelitian di Jogja," jelas Bima.
Laila menghela napas panjang. Nama itu terdengar familier. Ia membuka salah satu gulungan naskah dari peti dan menemukan nama yang sama tertera di situ, disebut sebagai "penjaga kunci."
"Jika Willem adalah penjaga kunci, maka ini semua mungkin terkait dengan penelitian yang dia lakukan sebelum menghilang," gumam Laila sambil mengetuk-ngetuk pena di tangannya. "Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang dia."
Keesokan harinya, Laila dan Bima mengunjungi perpustakaan kota Jogja. Bangunan tua dengan dinding bercat krem itu dipenuhi aroma kertas usang dan debu. Mereka diterima oleh seorang pustakawan tua bernama Pak Tarjo, yang mengenakan kacamata tebal dan senyum ramah.
"Permisi, pak Tarjo ya?" tanya Laila dengan senyum manisnya.
"Iya mbakyu ada apa njih?". jawab pak Tarjo sambil membereskan kertas yang ada di mejanya.
"Apakah bapak mengetahui tentang sebuah nama Willem van Bruggen?", tanya Laila
"Willem van Bruggen? Oh, itu nama yang jarang sekali saya dengar sekarang," kata Pak Tarjo sambil mengangguk pelan. "Tapi ada beberapa dokumen yang mungkin bisa membantu. Tunggu sebentar yaa."
Ia kembali dengan membawa sebuah map tebal yang isinya campuran artikel lama, catatan pribadi, dan foto-foto. Salah satu artikel koran berjudul: "Misteri Hilangnya Willem van Bruggen di Kawasan Lereng Merapi". Artikel itu menyebutkan bahwa Willem sedang meneliti sebuah situs kuno di Merapi sebelum ia menghilang tanpa jejak.
"Apa situs kuno itu masih ada pak?" tanya Laila.
Pak Tarjo menggeleng. "Sebagian besar hancur akibat letusan gunung. Tapi ada desas-desus bahwa beberapa artefaknya masih tersimpan di museum kota."
Mereka melanjutkan pencarian ke museum kota, sebuah bangunan kolonial megah yang berdiri di pusat Jogja. Ruangan utamanya dipenuhi berbagai artefak sejarah, termasuk beberapa peninggalan dari penelitian Willem. Di salah satu sudut, Laila menemukan sebuah artefak berbentuk prasasti kecil dengan ukiran bintang yang sama.
"Ini semakin jelas," gumam Laila sambil memotret prasasti itu. Ia membaca deskripsi di bawahnya: "Prasasti ini ditemukan di kaki Gunung Merapi oleh Willem van Bruggen, dan diyakini sebagai bagian dari sistem navigasi kuno."
Namun, sebelum Laila dan Bima bisa menyelidiki lebih jauh, mereka merasa diawasi. Seorang pria tinggi berjubah hitam berdiri di ujung ruangan, menatap mereka dengan tajam. Saat mereka mencoba mendekat, pria itu menghilang ke lorong lain.
"Sopo kui (Siapa dia)?" tanya Bima dengan nada khawatir.
"Aku rangerti mas, koyone dekne ngerti awake dewe ono nangkene (Aku tidak tahu, tapi dia jelas tahu kita ada di sini)," jawab Laila sambil mempercepat langkahnya.
Malam itu, kembali ke kantor Lentera Nusantara, Laila dan Bima memeriksa ulang semua informasi yang mereka dapatkan. Mereka menemukan pola yang mengarah ke satu lokasi: sebuah desa kecil di lereng Merapi yang disebut Kalidadap. Desa itu disebut beberapa kali dalam catatan Willem sebagai "pusat misteri bintang."
"Besok kita pergi ke sana," kata Laila tegas. "Aku yakin jawabannya ada di sana."
Perjalanan ke Kalidadap tidak mudah. Jalan berbatu yang curam dan kondisi cuaca yang tidak menentu membuat perjalanan mereka penuh tantangan. Namun, ketika mereka tiba, suasana desa itu sangat berbeda. Kalidadap seperti terperangkap di masa lalu, dengan rumah-rumah tradisional dan suasana yang sunyi.
Mereka bertemu dengan seorang tetua desa bernama Mbah Surono, yang tampaknya mengetahui lebih banyak tentang misteri ini.
"Bintang itu adalah perlindungan sekaligus kutukan," kata Mbah Surono dengan suara serak. "Willem pernah datang ke sini, mencari kebenaran, tapi ia tidak pernah kembali. Desa ini menyimpan rahasia besar, dan tidak semua orang mampu menanggung bebannya."
Mbah Surono menunjukkan mereka sebuah gua kecil di dekat desa yang disebut sebagai "Lumbung Bintang." Dengan membawa lentera, Laila dan Bima memasuki gua itu. Di dalamnya, mereka menemukan ukiran-ukiran kuno yang menunjukkan peta bintang yang sama seperti di peta kuno yang mereka miliki.
Di tengah gua, mereka menemukan sebuah prasasti besar yang tertulis dalam aksara Jawa kuno. Laila menerjemahkannya dengan susah payah:
"Hanya mereka yang membawa kebenaran di hati yang dapat membuka rahasia bintang."
Namun, sebelum mereka bisa merenungkan arti prasasti itu, suara langkah kaki kembali terdengar dari mulut gua. Kali ini, langkah itu lebih berat, lebih banyak. Mereka terjebak.
Laila dan Bima berada di ambang pengungkapan kebenaran, tetapi bahaya semakin dekat. Rahasia bintang masih tersembunyi, dan musuh dalam bayangan siap menghentikan mereka dengan cara apa pun.
Laila Akira Episode 5
Laila Akira duduk sambil menikmati kopi hitam pahit yang mulai dingin sembari mempelajari dokumen-dokumen yang ia temukan di peti kuno dari villa tua
Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi