Laila Akira Episode 4
Laila Akira duduk di atas bebatuan, napasnya masih tersengal-sengal setelah pelarian bersama Bima semalam.
Kabut tebal menggantung rendah di atas lereng Kaliurang saat matahari perlahan memanjat langit, memancarkan cahaya oranye redup. Laila Akira duduk di atas bebatuan, napasnya masih tersengal-sengal setelah pelarian bersama Bima semalam. Wajahnya terlihat letih, tetapi matanya tetap memancarkan determinasi yang tak tergoyahkan. Di sampingnya, Bima mengutuki nasib buruk mereka sambil membalut lengannya yang tergores ranting."Kita hampir mati di sana, Laila," gumam Bima, nada suaranya setengah berbisik. "Pria-pria itu tidak main-main."
Laila mengabaikan keluhannya, pandangannya terpaku pada peta kuno yang sekarang dalam keadaan basah yang terselimuti oleh embun. Ia mempelajari setiap garis, setiap simbol, mencoba menemukan petunjuk baru. Setelah pertemuan dengan dua pria bersenjata di villa tua, mereka berhasil lolos melalui lorong rahasia yang tidak sengaja mereka temukan di ruang bawah tanah. Namun, ancaman masih membayangi mereka.
"Kunci untuk membuka peti itu pasti masih di sekitar sini," kata Laila akhirnya. "Kita hanya perlu menemukannya sebelum mereka menemukannya."
Bima menghela napas panjang. "Dan bagaimana kita melakukannya tanpa membahayakan nyawa lagi?"
Laila mengangkat bahu. "Dengan keberanian dan sedikit keberuntungan, seperti biasa."
Setelah beristirahat sejenak, Laila dan Bima memutuskan untuk melanjutkan pencarian mereka. Kali ini, mereka mengikuti simbol bintang yang tergambar di peta, yang tampaknya mengarah ke sebuah kompleks gua di dekat puncak lereng. Jalan menuju gua itu licin dan curam, dihiasi akar-akar pohon yang mencuat dari tanah basah.
Saat mereka tiba di mulut gua, suasana terasa berubah. Udara di sana lebih dingin, dan suara alam di luar seperti teredam. Dinding gua dipenuhi lumut hijau, dan ada ukiran-ukiran samar yang hampir terhapus oleh waktu. Salah satu ukiran itu menyerupai simbol bintang yang ada di peta.
"Ini dia," bisik Laila dengan nada kagum. Ia mengarahkan senter kecilnya ke ukiran itu, memperhatikan setiap detailnya.
Di bawah simbol itu, terdapat tulisan dalam aksara Jawa kuno yang terjemahannya berbunyi: "Hanya yang memiliki kebenaran di hatinya yang dapat membuka jalan."
Bima mengerutkan kening. "Aseeemm..opo meneeehh iki (Apa maksudnya) yo mbak?"
Laila tidak menjawab. Ia mengamati lebih dekat, mencari mekanisme tersembunyi. Setelah beberapa saat, ia menemukan celah kecil di samping ukiran itu, cukup besar untuk memasukkan tangan. Dengan hati-hati, ia meraba di dalamnya.
Sebuah klik terdengar, diikuti oleh suara gemuruh. Sebagian dinding gua bergeser, memperlihatkan lorong sempit yang gelap dan tampaknya belum tersentuh selama puluhan tahun.
"Tenanan ki arep mlebu rono? (Kamu serius ingin masuk ke sana)?" tanya Bima dengan nada cemas.
Laila hanya tersenyum kecil. "(wis kebacut mas, sisanke wae timbangane muter balik) Bukankah kita sudah terlalu jauh untuk mundur)?"
Lorong itu panjang dan berkelok-kelok, dengan dinding yang dingin dan basah. Suara langkah mereka bergema, menciptakan suasana yang semakin menegangkan. Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah ruangan kecil yang diterangi oleh cahaya samar dari celah di langit-langit.
Di tengah ruangan, terdapat sebuah altar batu dengan kotak kecil di atasnya. Kotak itu terbuat dari logam hitam yang tampak kuno, dengan ukiran-ukiran rumit di seluruh permukaannya. Di depannya, ada sebuah kunci logam berbentuk unik yang tampaknya cocok dengan peti yang mereka temukan di villa.
"Ini pasti kuncinya," kata Laila sambil melangkah mendekat.
Namun, sebelum ia bisa mengambil kunci itu, suara langkah kaki kembali terdengar dari lorong. Laila dan Bima saling berpandangan, panik.
"Gek dijupuk kuncine (Cepat ambil kuncinya)!" desak Bima.
Laila meraih kunci itu dengan cepat, tetapi saat ia menyentuhnya, lantai di bawah mereka mulai berguncang. Batu-batu kecil jatuh dari langit-langit, dan suara gemuruh semakin keras.
"(Mbok apakke kui mau) Apa yang kamu lakukan?!" seru Bima.
"Mbooh (Aku tidak tahu)! Gek ndang metu teko kene pokmen (Cepat keluar dari sini)!" balas Laila.
Mereka berlari secepat mungkin, kembali melalui lorong yang sekarang mulai runtuh. Debu memenuhi udara, membuat mereka sulit bernapas. Ketika mereka akhirnya keluar dari gua, mereka terengah-engah, tetapi lega karena berhasil lolos.
"Kunci ini pasti sangat penting jika dilindungi seperti itu," kata Laila sambil menatap kunci logam di tangannya.
"Juk saiki piye kelanjutane (Dan sekarang bagaimana)?" tanya Bima.
Laila menghela napas panjang. "Sekarang kita kembali ke villa. Kita buka peti itu dan lihat apa yang disembunyikan selama ini."
Malam itu, mereka kembali ke villa tua dengan hati-hati. Ketegangan di udara terasa semakin tebal. Laila memegang kunci logam erat-erat, sementara Bima membawa senter dan tongkat kayu sebagai senjata improvisasi.
Di ruang bawah tanah, peti besar itu masih berada di tempatnya. Laila memasukkan kunci ke lubangnya dan memutarnya perlahan. Dengan suara berderit, tutup peti itu terbuka, memperlihatkan isinya.
Di dalamnya, mereka menemukan beberapa gulungan naskah kuno, perhiasan emas, dan sebuah buku besar dengan sampul kulit yang telah usang. Namun, perhatian Laila tertuju pada satu benda: sebuah cincin emas dengan ukiran simbol bintang yang sama seperti di peta.
"Jigur ik opo iki (Apa ini)?" gumam Bima.
Laila mengambil cincin itu dan memeriksanya. Di bagian dalamnya, terdapat ukiran lain yang berbunyi: "Kebenaran adalah senjata terkuat."
Namun, sebelum mereka bisa memahami lebih jauh, suara langkah kaki kembali terdengar, kali ini lebih banyak. Laila dan Bima menyadari bahwa mereka tidak sendirian lagi. Bahaya baru telah datang, dan mereka harus bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.
Saat ini ketegangan yang memuncak dihadapi Laila dan Bima dalam situasi genting yang penuh misteri dan ancaman.
Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi