Jogja, dengan segala pesonanya yang menenangkan, menyimpan lapisan rahasia yang tak terhitung. Namun, bagi Laila Akira, kota ini telah berubah menjadi medan penuh teka-teki yang semakin mempersulit tidur malamnya. Hujan gerimis yang turun sore itu membasahi jalanan berbatu di sekitar Malioboro, menciptakan aroma tanah basah yang akrab. Di sudut sebuah kafe kecil, Laila duduk sambil mempelajari peta yang ia temukan di Borobudur pada episode sebelumnya.
Peta itu adalah potongan teka-teki yang misterius. Terbuat dari kertas kuno yang mulai rapuh, gambarannya menunjukkan bagian tertentu dari Jogja yang mengarah ke sebuah kawasan terpencil di Kaliurang. Sebuah tanda "X" yang dilingkari tinta merah tua menarik perhatian Laila. Di sampingnya, terdapat simbol berbentuk bintang dengan huruf Jawa kuno yang terukir rapi: Ruh déning kébenéran. (Roh demi kebenaran.)
Sambil menyeruput kopi robustanya yang mulai dingin, Laila mencoba menguraikan makna simbol itu. Sesekali ia melirik laptopnya, tempat ia menyimpan hasil riset tentang kematian Aditya dan keterkaitannya dengan peta ini. Belum lama ia berpikir, suara ponselnya bergetar, memecah konsentrasinya. Nama Bima, bartender sekaligus informan yang ia temui sebelumnya, tertera di layar.
"Laila, aku menemukan sesuatu yang harus kamu lihat," kata Bima tanpa basa-basi. "Temui aku di bar jam tujuh malam ini juga ya... Jangan sampai terlambat."
Malam itu, Laila melangkah masuk ke dalam bar kecil di kawasan Prawirotaman. Tempat itu gelap dan penuh dengan suara dentingan gelas serta percakapan berbisik wisatawan mancanegara maupun domestik. Di sudut ruangan, Bima sudah menunggunya dengan wajah tegang. Di mejanya terdapat sebuah map cokelat yang tampak usang.
"Apa ini mas?" tanya Laila sambil menarik kursi.
Bima mendorong map itu ke arahnya. "Dokumen lama dari arsip kolonial Belanda. Salah satu pelanggan tetapku bekerja di perpustakaan dan menemukan ini secara tak sengaja."
Laila membuka map itu dengan hati-hati. Isinya adalah salinan laporan investigasi dari tahun 1930-an, terkait dengan penemuan sebuah ruang tersembunyi di Kaliurang. Ruangan itu konon menyimpan benda-benda berharga milik bangsawan Kerajaan Mataram yang sengaja disembunyikan selama masa penjajahan.
"Apa hubungannya dengan peta ini?" Laila menunjukkan peta kuno yang ia bawa.
"Peta itu adalah bagian dari legenda yang sama. Banyak yang percaya bahwa harta tersebut bukan hanya benda berharga, tapi juga bukti yang bisa mengguncang sejarah Indonesia," jawab Bima.
Sebelum mereka bisa berdiskusi lebih jauh, seorang pria tak dikenal masuk ke bar. Matanya mencari sesuatu, atau seseorang. Ia mengenakan jaket kulit hitam dan membawa tas kecil di tangannya. Ketika pandangannya bertemu dengan Bima dan Laila, pria itu mendekat dengan langkah mantap.
"Nona Akira?" tanyanya sambil menatap tajam.
"Ya. Ada yang bisa saya bantu?" Laila mencoba tetap tenang.
Pria itu meletakkan sebuah amplop di atas meja. "Pesan ini untuk Anda. Saya hanya kurir."
Tanpa menunggu jawaban, pria itu pergi meninggalkan mereka.
Laila membuka amplop itu dan menemukan sebuah catatan singkat: "Berhenti menggali atau nyawa Anda taruhannya." Tidak ada tanda tangan atau petunjuk siapa pengirimnya. Namun, ancaman itu jelas.
Keesokan harinya, Laila dan Bima memutuskan untuk pergi ke Kaliurang demi mengungkap misteri peta tersebut. Perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah villa tua yang sudah lama ditinggalkan. Bangunan itu dikelilingi oleh pepohonan yang rimbun, menciptakan suasana suram.
"Ini tempat yang ditunjukkan di peta," kata Laila sambil memeriksa koordinat di peta kuno itu.
Mereka memasuki villa itu dengan hati-hati. Di dalamnya, mereka menemukan lantai kayu yang berderit, dinding yang penuh lumut, dan perabotan tua yang sudah hancur. Di salah satu ruangan, mereka menemukan sebuah panel rahasia di lantai yang tersembunyi di bawah karpet tebal.
Dengan usaha keras, Bima berhasil membuka panel itu, memperlihatkan sebuah tangga yang mengarah ke ruang bawah tanah. Aroma lembab langsung menyergap mereka saat mereka menuruni tangga tersebut. Di bawah, mereka menemukan sebuah ruangan kecil dengan dinding batu, di mana terdapat sebuah peti besar yang terkunci rapat.
"Apa ini?" tanya Bima, suaranya hampir berbisik.
Laila memperhatikan ukiran di peti itu. Simbol bintang yang sama seperti di peta terukir di sana. Di sampingnya, terdapat sebuah kunci berbentuk aneh yang sepertinya diperlukan untuk membukanya.
"Sepertinya kita butuh kunci untuk membuka peti ini mas," kata Laila. "Tapi di mana kita bisa menemukannya?"
Sebelum mereka bisa memikirkan langkah selanjutnya, suara langkah kaki terdengar dari atas. Seseorang telah mengikuti mereka. Laila mematikan senter dan memberi isyarat kepada Bima untuk diam. Mereka bersembunyi di balik peti, mencoba mengintip siapa yang datang.
Dua pria masuk ke ruangan itu, membawa senjata api. Salah satunya adalah pria yang sebelumnya memberikan ancaman di bar.
"Mereka pasti sudah di sini," katanya sambil menyinari ruangan dengan senter. "Cari mereka!"
Laila meraih ponselnya, mencoba mengirimkan pesan darurat kepada salah satu rekannya di Lentera Nusantara. Namun, sinyal di ruangan itu sangat lemah. Pilihan mereka hanya satu: bertahan dan mencari jalan keluar.
Dengan ketegangan yang memuncak, Laila dan Bima berada dalam situasi yang semakin berbahaya. Peti misterius itu masih terkunci, dan rahasia yang tersimpan di dalamnya tampaknya adalah kunci untuk mengungkap sejarah yang selama ini tersembunyi.