Light Articles. Read Now!

Table of Content

Kebohongan Yang Sempurna Episode 6 (Tamat)

Kebohongan Yang Sempurna

Kebenaran di Ujung Jalan

Suasana di Villa Arcanum terasa seperti ditelan oleh rahasia yang terlalu lama terpendam. Melati berdiri di tengah ruangan, menatap Felix Arkana dengan campuran rasa takut dan penasaran. Julius memegang peti kecil itu erat-erat, sementara Adrian berdiri di belakangnya, tampak gelisah. Hujan deras di luar mengiringi ketegangan di dalam villa.

Felix mengangkat tangannya perlahan, menunjuk ke peti yang digenggam Julius. "Letakkan di atas meja," katanya tegas.

Melati mengangguk pelan kepada Julius. "Lakukan saja," bisiknya. Julius, meski enggan, meletakkan peti itu di atas meja kayu besar di tengah ruangan. Felix mendekat, matanya memancarkan intensitas yang sulit dijelaskan.

"Segel ini," kata Felix sambil menyentuh gembok berornamen, "dibuat oleh leluhur kita untuk menyembunyikan kebenaran. Tapi kebenaran itu tidak bisa ditutupi selamanya. Melati, hanya darahmu yang bisa membukanya."

Melati menatap gembok itu dengan ragu. "Bagaimana aku tahu kalau ini bukan jebakan?"

Felix terkekeh pelan. "Kamu tidak punya pilihan lain, bukan?" Ia mengeluarkan sebuah belati kecil dari dalam jubahnya, menyerahkannya kepada Melati. Belati itu tampak kuno, dengan ukiran simbol mata di gagangnya.

Dengan tangan gemetar, Melati mengambil belati itu. Ia menoleh kepada Julius dan Adrian, mencari dukungan. Julius mengangguk singkat, sementara Adrian berbisik, "Kita tidak punya jalan keluar lain."

Melati menarik napas dalam-dalam, lalu menggoreskan belati itu di telapak tangannya. Darah segar menetes, menyentuh gembok berornamen. Seketika, gembok itu bercahaya dengan warna emas yang menyilaukan. Sebuah suara gemuruh terdengar, dan peti itu terbuka perlahan.

Di dalam peti, terdapat sebuah buku tua dengan sampul kulit hitam. Buku itu tampak rapuh, tetapi aura misteriusnya sangat kuat. Felix mengambilnya dengan hati-hati, lalu membukanya.

"Ini dia," gumam Felix, suaranya hampir seperti bisikan. "Semua kebohongan ini, semuanya tertulis di sini."

Melati mendekat, mencoba melihat isi buku itu. Halaman-halamannya penuh dengan tulisan tangan dalam bahasa Latin, dengan diagram dan simbol yang tampak seperti catatan ritual. Felix membalik beberapa halaman sebelum berhenti di salah satu bagian yang ditandai dengan tinta merah.

"Keluarga Arkana," katanya, "membangun kekuasaan mereka di atas pengkhianatan. Mereka mengorbankan salah satu keturunan mereka untuk mendapatkan kekuatan ini. Dan aku... aku adalah warisan dari dosa itu."

Melati tertegun. "Pengorbanan? Apa maksudmu?"

Felix menatapnya tajam. "Leluhur kita membuat perjanjian dengan entitas gelap. Untuk setiap generasi, satu keturunan harus dikorbankan agar keluarga ini tetap berjaya. Tapi aku melarikan diri. Aku menolak menjadi korban mereka. Dan sejak saat itu, keluargamu menyembunyikan keberadaanku."

Adrian tampak pucat. "Jadi... seluruh kemakmuran keluarga Arkana adalah hasil dari... pembunuhan ritual?"

Felix mengangguk. "Dan sekarang, waktunya telah tiba untuk menghentikan siklus ini."

Felix merobek halaman terakhir dari buku itu, yang berisi instruksi untuk melakukan ritual penghancuran. "Dengan membakar halaman ini," katanya, "perjanjian itu akan berakhir. Tapi konsekuensinya, seluruh warisan keluarga Arkana akan hancur. Villa ini, kekayaan, semuanya."

Melati merasakan konflik batin yang mendalam. "Jika aku membiarkanmu melakukannya, semua yang diwariskan keluargaku akan lenyap. Tapi jika aku tidak melakukannya, kebohongan ini akan terus berlanjut."

"Pilihan ada di tanganmu," kata Felix, menyerahkan halaman itu kepada Melati.

Melati memandang halaman itu, lalu memandang sekelilingnya. Villa yang megah, peninggalan keluarganya, kini terasa seperti penjara penuh rahasia kelam. Ia tahu, keputusan ini akan mengubah segalanya.

Dengan tangan yang masih gemetar, ia mengambil lilin ungu dari saku mantelnya. Menyalakan api biru pucat itu, Melati membakar halaman tersebut. Api menyala terang, menghanguskan tulisan Latin yang tertulis di atasnya.

Seketika, gemuruh terdengar dari seluruh villa. Dinding-dinding mulai retak, dan cahaya merah gelap menyembur dari lantai. "Kita harus keluar dari sini!" teriak Julius, menarik Melati dari tempat itu.

Felix tetap berdiri di tempatnya, memandang villa yang mulai runtuh. "Aku akan tinggal di sini," katanya. "Aku adalah bagian dari dosa ini."

Melati mencoba meraih tangannya, tetapi Felix menolaknya. "Pergilah," katanya dengan senyuman kecil. "Kamu telah melakukan hal yang benar."

Dengan berat hati, Melati, Julius, dan Adrian berlari keluar dari villa. Hujan deras menyambut mereka, dan ketika mereka berbalik, Villa Arcanum telah runtuh menjadi puing-puing. Sebuah aura gelap perlahan menghilang dari tempat itu, meninggalkan langit yang mulai cerah.

Melati berdiri diam di depan reruntuhan villa, air mata mengalir di pipinya. "Semua ini... adalah tanggung jawab keluargaku," katanya pelan. "Tapi sekarang, aku bisa memulai lembaran baru."

Julius meletakkan tangan di bahunya. "Kamu sudah melakukan hal yang benar, Melati. Kebohongan itu akhirnya dihentikan."

Adrian menghela napas lega. "Tapi aku berharap kita tidak pernah kembali ke tempat seperti ini lagi."

Melati tersenyum tipis. "Aku juga. Tapi setidaknya, kebohongan yang sempurna ini telah berakhir."

Tamat.
Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar