Kunci di Balik Bayangan
Hening menggantung di lorong sempit yang lembap, hanya dipecahkan oleh napas tertahan dari Melati, Julius, dan Adrian. Suara langkah misterius itu telah lenyap, meninggalkan mereka bertiga dalam kegelapan yang pekat. Melati mencoba meraba dinding di sekitarnya, mencari tanda atau petunjuk yang bisa membimbing mereka keluar dari situasi ini."Kita harus bergerak," bisik Melati akhirnya. "Tetap rapat dan jangan bersuara."
Julius mengangguk, meskipun ia tahu tak seorang pun bisa melihatnya dalam kegelapan ini. Ia menempel pada dinding batu yang dingin, berjalan perlahan di belakang Melati, dengan Adrian yang gemetaran mengikuti di belakangnya. Langkah mereka hampir tanpa suara, tetapi udara di lorong terasa semakin menyesakkan.
Beberapa menit kemudian, mereka menemukan sebuah pintu kayu tua di ujung lorong. Melati menyentuhnya, merasakan permukaan kayu yang kasar dan retak. Di tengah pintu itu terdapat ukiran aneh berupa simbol mata dengan garis melingkar di sekelilingnya. Simbol itu membuat Melati teringat pada lambang-lambang lain yang sebelumnya ia lihat di sepanjang lorong.
"Pintu ini terkunci," bisiknya. "Tapi simbol ini... aku yakin ini adalah kuncinya."
Adrian menatap Melati dengan raut wajah putus asa. "Kunci? Maksudmu kita butuh sesuatu untuk membukanya?"
Julius memeriksa ukiran itu dengan senter kecil yang ia tarik dari sakunya. Cahaya redup itu memantulkan bayangan aneh di dinding, membuat ukiran tampak lebih hidup. "Mungkin kuncinya bukan benda," gumamnya. "Bisa jadi ini teka-teki."
Melati menyipitkan mata, mencoba mengingat potongan informasi dari buku sejarah keluarganya. "Aku pernah melihat simbol ini di salah satu buku di perpustakaan. Itu berkaitan dengan ritual kuno keluarga Arkana... sesuatu tentang "menerangi kebenaran di tengah kegelapan.""
"Menerangi kebenaran?" ulang Adrian bingung. "Apa itu berarti kita harus menggunakan cahaya?"
Julius mengarahkan senter kecilnya ke simbol mata itu. Tapi tidak ada yang terjadi. "Mungkin bukan sembarang cahaya," katanya, sedikit frustrasi. "Apakah ada sesuatu yang khusus, Nona Arkana?"
Melati menggigit bibirnya, berpikir keras. Lalu, tiba-tiba ia tersadar. "Lilin," katanya. "Di buku itu disebutkan bahwa lilin keluarga Arkana memiliki peran dalam ritual tersebut. Lilin itu terbuat dari bahan khusus dan hanya menyala dengan api yang juga khusus."
Adrian mengerutkan kening. "Lilin keluarga? Kita tidak punya waktu untuk kembali ke perpustakaan, kan?"
Melati mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah lilin kecil dengan warna ungu gelap yang terlihat aneh di bawah cahaya senter Julius. "Aku sudah membawanya," katanya tenang. "Sekarang kita hanya perlu menyalakannya."
Dengan cepat, Julius mengeluarkan korek api dari kantongnya dan menyalakan lilin itu. Api yang muncul bukanlah warna oranye biasa, melainkan biru pucat yang tampak dingin tetapi memancarkan cahaya terang. Melati mengarahkan lilin itu ke simbol mata di pintu. Seketika, simbol itu mulai bersinar dengan cahaya serupa, seolah merespons nyala lilin.
Perlahan, terdengar suara mekanis dari balik pintu. Engsel-engsel tua itu berderit keras saat pintu terbuka, memperlihatkan ruangan besar di baliknya.
Ruangan itu adalah aula bawah tanah yang luas, dengan langit-langit tinggi yang ditopang oleh pilar-pilar batu. Cahaya lilin biru menerangi bagian-bagian ruangan yang sebelumnya tertutup bayangan. Dinding-dindingnya dipenuhi oleh lukisan-lukisan tua dan ukiran simbol yang tampaknya menceritakan sejarah keluarga Arkana.
Di tengah aula, ada sebuah meja panjang dari kayu hitam, dengan beberapa benda aneh yang tersusun rapi di atasnya. Ada peta kuno, buku-buku tebal dengan sampul kulit, dan sebuah peti kecil yang terkunci dengan gembok berornamen.
"Apa ini?" tanya Julius sambil mendekati meja. Ia memeriksa peta itu, yang tampaknya menggambarkan villa dan area sekitarnya, tetapi dengan beberapa tanda merah misterius di tempat-tempat tertentu.
Melati berjalan ke arah peti kecil itu, matanya menyipit curiga. Ia mencoba membukanya, tetapi gembok itu tidak bergerak. "Ini... mungkin yang mereka cari," katanya. "Peti ini menyimpan sesuatu yang sangat penting."
Adrian, yang berdiri agak jauh dari mereka, tiba-tiba merasa punggungnya meremang. Ia menoleh, merasakan sesuatu yang tidak wajar di belakangnya. "Melati," bisiknya. "Aku merasa ada yang mengawasi kita."
Melati menoleh cepat, dan Julius segera mengambil pistol kecil dari balik mantelnya. "Diam," bisik Julius. "Matikan lilin itu."
Melati mematikan lilin biru, membiarkan mereka kembali ke kegelapan total. Namun, dalam keheningan, mereka mendengar langkah kaki yang perlahan mendekat. Langkah itu berat, seolah-olah seseorang berjalan dengan sepatu bot di lantai batu.
Tiba-tiba, cahaya merah samar muncul dari ujung aula, memperlihatkan sosok tinggi dengan jubah hitam dan topeng putih. Sosok itu berdiri diam, tetapi aura ancaman yang dipancarkannya sangat nyata.
"Siapa Anda?" teriak Julius, mengarahkan pistolnya ke sosok itu.
Sosok itu tidak menjawab, tetapi sebuah suara—tidak jelas apakah berasal darinya atau dari ruangan itu sendiri—bergema di aula:
"Kebohongan ini akan terungkap. Tidak ada yang bisa lari dari bayang-bayang."
Siapa sosok berjubah hitam itu? Dan apa yang tersembunyi dalam peti kecil di meja? Nantikan jawabannya di episode berikutnya!