Max dan Clara
Max bukanlah anjing biasa. Ia adalah seekor Golden Retriever berwarna cokelat keemasan dengan bulu yang lebat dan lembut. Setiap pagi, Max akan bangun lebih dulu daripada Clara dan dengan riangnya menyambut pemiliknya dengan ekor yang terus bergoyang. Mereka berdua memiliki kebiasaan yang sama: berjalan-jalan di sepanjang jalan setapak yang membelah hutan kecil di dekat rumah, menikmati udara segar dan keheningan alam yang hanya bisa ditemukan di tempat-tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota besar.
Clara adalah seorang wanita yang sangat penyendiri. Kehidupannya lebih sering dihabiskan dalam kesendirian, bekerja sebagai penulis lepas dan mengerjakan proyek-proyek kecil untuk berbagai penerbit. Sejak kehilangan kedua orangtuanya dalam sebuah kecelakaan mobil ketika ia masih remaja, Clara tidak pernah benar-benar bisa membuka hati kepada orang lain. Namun, di Max, ia menemukan sesuatu yang berbeda. Max tidak pernah menghakimi, tidak pernah menuntut lebih dari sekedar perhatian dan kasih sayang. Mereka adalah dua jiwa yang saling melengkapi, meski hanya dalam diam dan keheningan yang mereka bagi bersama.
Pada suatu sore yang cerah, saat matahari sudah mulai terbenam dan langit berubah menjadi merah muda keemasan, Clara duduk di teras belakang rumahnya, menatap taman yang penuh dengan bunga-bunga liar. Max terbaring di dekat kakinya, menatap langit dengan tatapan tenang. Keduanya sudah terbiasa dengan rutinitas ini—tidak ada yang perlu diucapkan. Hanya kebersamaan yang mereka butuhkan.
“Aku tak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kamu, Max,” bisik Clara, suaranya lembut, nyaris tak terdengar. Max mengangkat kepalanya sejenak, seolah memahami, sebelum kembali mendengkur pelan. Clara tertawa kecil, mengusap kepala Max dengan lembut.
Masa Itu Akhirnya Mendekat
Namun, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, Max mulai menunjukkan tanda-tanda penuaan. Semula Clara menganggapnya sebagai hal yang biasa, karena anjing pun bisa menua seperti manusia. Tapi lambat laun, tanda-tanda itu menjadi semakin jelas. Max tidak lagi berlari-lari ceria seperti dulu, napasnya menjadi lebih berat, dan ia mulai menolak makan. Clara membawa Max ke dokter hewan, dan setelah serangkaian pemeriksaan, dokter akhirnya memberi tahu Clara kabar yang mengejutkan dan sangat memilukan.
"Max sudah sangat tua, Clara. Ia menderita kanker hati stadium lanjut. Tidak ada banyak yang bisa kami lakukan selain memberi kenyamanan di sisa hidupnya."
Clara merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia menatap Max yang kini terbaring lemah, ekornya tak lagi bergoyang dengan ceria seperti dulu. Jantungnya serasa tersobek mendalam. Max, sahabat terbaiknya, akan segera meninggalkannya. Selama bertahun-tahun mereka telah melalui segala hal bersama. Kehilangan orang tua, momen-momen penuh kesendirian, dan bahkan malam-malam gelap yang penuh ketakutan. Namun, sekarang, Max—soulmate-nya—akan pergi.
Hari-hari berikutnya menjadi semakin berat bagi Clara. Ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Setiap kali Max mencoba untuk berdiri dan berjalan, Clara akan menolongnya, memapah tubuh lelah itu dengan pelukan lembut. Mereka pergi ke taman setiap pagi, meski kini Max lebih banyak duduk di bawah pohon, menatap dunia dengan tatapan yang seakan mengingatkan Clara bahwa waktu mereka sudah sangat terbatas.
Satu bulan berlalu sejak diagnosis tersebut, dan kondisi Max semakin memburuk. Clara tahu bahwa saat itu semakin dekat, meski ia berusaha menipu diri sendiri dengan berharap keajaiban akan datang. Namun pada suatu malam yang dingin, Max tidak bisa lagi berdiri. Ia terbaring di depan perapian, mata yang biasanya penuh keceriaan kini tampak lelah dan sayu.
Clara duduk di sampingnya, menangis tanpa suara. “Aku akan merindukanmu, Max. Kamu adalah satu-satunya yang ada untukku.” Ia mengusap bulu Max, merasakan kehangatan tubuhnya yang mulai memudar.
Namun, pada saat itu, Max membuka matanya untuk terakhir kalinya dan menatap Clara dengan tatapan penuh kasih. Ekornya bergerak pelan, seolah memberi tanda bahwa ia tidak akan pernah benar-benar pergi. Dengan napas terakhir yang berat, Max pun tertidur selamanya di pelukan Clara.
Clara merasa dunia seakan berhenti berputar. Ia menangis begitu dalam, tidak hanya karena kehilangan sahabat terbaiknya, tetapi juga karena ia merasa seakan kehilangan bagian dari dirinya sendiri. Selama ini, Max adalah bagian dari jiwa dan hati Clara. Kehilangan Max berarti kehilangan semua yang ia percayai tentang cinta tanpa syarat dan persahabatan sejati.
Hari-hari setelah kepergian Max terasa sangat hampa. Clara berusaha kembali ke rutinitasnya, namun tidak ada yang bisa menggantikan kekosongan itu. Rumahnya yang dulu penuh dengan tawa dan kehangatan kini terasa sunyi dan sepi. Max telah pergi, meninggalkan ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh siapapun.
Namanya Lucas
Namun, suatu hari, ketika Clara sedang duduk di meja kerjanya, ia merasa ada sesuatu yang aneh. Seolah ada suara berdesir halus di dekatnya, meskipun tak ada siapapun di ruangan itu. Ia mendengar langkah kaki lembut, seperti langkah Max. Clara menoleh ke belakang, dan matanya membesar saat melihat sesuatu yang tidak ia percayai.
Di ujung ruangan, berdiri seorang pria muda, dengan rambut cokelat keemasan yang tampak hampir identik dengan bulu Max. Clara terkejut dan hampir tidak bisa berbicara. Pria itu tersenyum padanya, senyum yang hangat dan penuh pengertian.
“Apa… siapa… siapa kamu?” tanya Clara dengan suara tercekat.
Pria itu mengangguk perlahan. “Saya tahu ini akan sulit dipahami, Clara. Nama saya Lucas. Saya… saya adalah sahabatmu, seperti Max. Saya berasal dari dunia yang berbeda, dan saya hanya bisa ada di sini sebentar, tapi… saya datang untuk menemanimu.”
Clara menatapnya dengan kebingungan yang mendalam. Lucas melanjutkan, “Max adalah jiwa yang lebih tua daripada yang kamu bayangkan. Ia bukan hanya anjing biasa. Ia adalah jiwa yang terikat denganmu, Clara. Sejak dulu, kami adalah soulmate—bukan hanya dalam arti manusia dan hewan, tetapi jiwa yang saling melengkapi.”
Air mata Clara mulai menetes lagi, tetapi kali ini berbeda. Ia tidak tahu apakah itu kesedihan atau kebingungannya yang semakin mendalam.
“Apa maksudmu? Max adalah jiwa yang terikat denganku? Lalu, siapa kamu?” tanya Clara, mencoba memahami segala yang baru saja dikatakan.
Lucas mendekat dan duduk di samping Clara, memberi isyarat agar ia lebih tenang. “Aku adalah penjaga jiwa Max. Kami berdua, Max dan aku, adalah bagian dari roh yang sama, tetapi terpisah dalam bentuk yang berbeda. Ketika Max pergi, aku datang untuk memberimu penjelasan. Kamu dan Max adalah soulmate dalam arti yang lebih dalam, Clara. Terkadang, kita bertemu dengan jiwa-jiwa yang akan selalu mengingat kita, bahkan ketika mereka telah tiada. Max akan selalu ada dalam hatimu, dan aku akan selalu ada untuk mengingatkanmu bahwa cinta sejati tidak pernah hilang.”
Clara merasa seluruh tubuhnya menggigil. Ia menyadari bahwa apa yang baru saja dikatakan oleh Lucas adalah kenyataan yang sangat berbeda dari segala yang pernah ia percayai.
Max, sahabatnya yang selama ini ia anggap sebagai anjing biasa, ternyata adalah bagian dari perjalanan jiwa yang lebih besar. Dan ia, Clara, akan selalu memiliki hubungan yang abadi dengan Max, meskipun dalam bentuk yang tak terlihat.
Cerita persahabatan mereka belum berakhir. Sebab, terkadang jiwa yang saling melengkapi tidak akan pernah benar-benar berpisah.