Light Articles. Read Now!

Table of Content

Tragedi Malam Jum'at Kliwon Di Jembatan Lama

Kepercayaan negatif pada malam Jumat Kliwon telah turun temurun diwariskan bahkan di masa lalu ketakutan pada malam Jumat Kliwon menjadi aturan tak te
malam jum'at kliwon

Kepercayaan negatif pada malam Jumat Kliwon telah turun temurun diwariskan bahkan di masa lalu ketakutan pada malam Jumat Kliwon menjadi aturan tak tertulis. Untuk tidak keluar rumah sembarangan di malam Jumat Kliwon itu, orang tua akan berteriak. Bahkan tak segan mengurung serta menyambit anak-anak mereka dengan rotan apabila ada yang masih nekat keluar rumah. 

Warsi dan Waji

Sekitar tahun 1970-an di tanah Kesultanan Yogyakarta warsi bocah perempuan yang duduk di bangku sekolah dasar merasa heran ketika satu persatu temannya berhenti berangkat ke sekolah. Suatu hari ia bertemu Waji teman satu sekolah yang juga anak Kampung Sebelah. Biasanya mereka berdua bersama tiga anak lainnya berangkat sama-sama. Kala itu sekolah memang bukan prioritas yang punya duit atau anak rajin saja yang mau sekolah berangkat sekolah saja pakai pakaian seadanya. 

Sepatu atau tas warsinah juga teman-temannya biasanya nyeker menenteng tas kresek berisi lembaran kertas bekas bungkus tempe dan sebatang pensil seukuran jempol tangan. Warsinah memang tergolong anak rajin, ia bahkan rela berangkat jalan kaki hampir 5 km dari rumahnya menuju sekolah. Pada waktu itu yang mampu beli sepeda cuma bapak dan ibu demang dan master.

Seputar Tanya Jawab, Jembatan dan Wadal

"Kau tidak berangkat sekolah Ji?" tanya warsinah. "Mamaku bilang tidak usah lagi sekolah!" jawab Wiji pelan. Amin juga absen akhir-akhir ini di sekolah tinggal aku Badran sama Rara. "Kasihan Pak Kasim jauh-jauh nyepeda dari kota ke Prambanan" warsi melanjutkan. Waji terdiam agaknya warsi tahu penyebab dua temannya absen. "Kau takut jadi wadal?" tebak warsi tepat. Waji pun mengangguk pelan. 

Baru-baru ini memang ada jembatan kranggenan yang baru selesai dibangun. Katanya dulu bekas jembatan yang hancur waktu Jepang menjajah Indonesia. Kalau mau sampai ke sekolah lebih cepat bisa pakai jembatan itu tapi bagi orang awam terutama orang kampung seperti Waji dan yang lainnya itu merupakan hal yang tabu. Bagi mereka tempat-tempat yang baru dibangun sama saja dengan tempat terlarang yang mesti meminta izin jika ingin lewat. Penduduk terlalu takut untuk lewat, takut jadi wadal kalau sembarangan lewat. 

"Kau tidak takut War?" tanya Waji. Sejurus kemudian warsi memutar matanya heran. "Iya bukannya tidak takut tapi hanya berpikir logis saja. Kau yang aneh padahal biasanya juga lewat makam juga, buat apa takut sama jembatan" ujar Warsi. "Kau belum dengar ya?" Waji membisik pelan menyeretnya ke gubuk tengah sawah yang merupakan markas kumpul mereka. 

Warsi yang sedikit penasaran menurut saja menunggu Waji melanjutkan ceritanya. "Jembatan itu bekas buatan Belanda, Jepang menghancurkannya waktu menjajah kita"  sambung waji. Warsi sudah sering mendengar itu. "Sebelumnya kau tahu sudah berapa banyak padahal yang jatuh dari sana?" lanjut Waji. "Ah tak mungkin, jembatan itu sudah lama jadi tumpukan batu dan baru selesai dibangun saat ini, Mana bisa itu jadi tempat angker dan bukan karena ilmu hitam santet ataupun pesugihan" ujar Warsi. 

Cerita Dahulu

Kau tahu kan Pakde ku sudah lama mati. Baru-baru ini aku tahu dari si mbok, dia mati jadi wadal jembatan kranggenan yang dulu lebih dikenal dengan jembatan Wheel 3. Marsi mendengarkan sampai akhir kisah tragis itu. Penduduk yang tinggal di sekitar jembatan dipaksa membangunnya waktu itu termasuk juga Pakde Waji yang kala itu masih berusia 15 tahun. Mereka yang membangun semua tidak paham pertukangan, tidak paham arsitektur dan dipaksa kerja rodi berkali-kali. 

Jembatan hampir roboh karena minimnya pengetahuan tentang konstruksi dan ketika mereka bertanya Bagaimana cara membangun jembatan yang baik para prajurit Belanda cuma menunjuk kepala mereka dan berkata gunakan ini dalam bahasa Belanda. Para pekerja itu patuh dalam ketakutan. Masih dilanda kebingungan dengan maksud prajurit itu para pekerja itu menafsirkan maksud perkataan prajurit secara harafiah, mereka memenggal sanak keluarga saudara siapapun yang mereka kenal untuk dijadikan wadal agar jembatan dapat berdiri kokoh. Semenjak itu jembatan dibangun dengan mengorbankan kepala penduduk, tak terhitung berapa banyak dari mereka yang tewas karena kesalahan pemahaman itu. 

Kisah itu kemudian berkembang di kalangan penduduk yang percaya bahwa tragedi itu bermula di malam Jumat Kliwon. Tak sampai di situ aja jangan lupakan korban kerja rodi yang tewas karena dipaksa bekerja dalam kelaparan dan tanpa upah, ditambah mereka yang berkorban untuk mempertahankan jembatan dari serangan Jepang, dan mayatnya hancur tak berbentuk akibat ledakan yang juga menghancurkan jembatan. "Pakdeku juga mati di jembatan itu, dipaksa bekerja menjadi prajurit terkubur bersama saat mempertahankannya dari serangan Jepang" Waji melanjutkan kisahnya, ketakutannya Semakin menjadi. 

Tempat itu cuma Petaka, pemerintah bodoh itu nggak tahu apa-apa pembangunan. Apanya yang ada habis, kita bakal jadi wadal kau tak akan heran jika menemukan tumpukan tengkorak di sekeliling jembatan itu. Warsi hampir memuntahkan isi perutnya yang kosong setelah mendengar cerita Waji. Dia memang sudah beberapa kali lewat jembatan itu setelah resmi selesai dan difungsikan untuk umum. Dia tahu semua hal peninggalan penjajah pasti menyimpan hal-hal buruk, tapi ia tak berpikir sampai sejauh itu setelah mendengar kisah Waji. Keberaniannya mulai memudar, mungkin warsi tak akan berani menginjakkan kaki ke jembatan kranggenan lagi. 

"Lalu bagaimana sekolahmu kau masih bisa lewat jalan yang dulu? Ayo kita berangkat sama-sama lagi" ajak warsi, tetapi Waji menggelengkan kepalanta, seperti masih memendam sesuatu. "Apa kau sudah dengar kabar Amin tidak? dia juga absen akhir-akhir ini" saut Waji. "Memang kenapa dengan amin?" tanya warsi. "Amin menghilang tepat saat dia berangkat sekolah dan melewati alas Gung pada Jumat lalu dan ia ditemukan tewas tak jauh dari sana jasadnya tertimpa pohon tumbang, menurut bapaknya ia sudah ditandai, Jumat lalu itu Jumat Kliwon" cerita waji. "apa... Bagaimana bisa?" warsi Tak habis pikir. 

Si Mbah yang Sakti

"Kau tidak tahu apa yang lebih mengenaskan?" ujar waji. warsi menunggu Waji melanjutkan kisahnya. Dengan takut-takut Waji meneguk ludahnya sebelum melanjutkan. "Jasad Amin ditemukan tanpa kepala, dicari kemanapun tidak ditemukan" Waji meremas kepalanya frustasi. "Kau tahu dia masih satu keturunan si Mbah Buyut denganku?" ungkap waji sambil melanjutkan ceritanya "kan sudah bukan rahasia umum bahwa si mbahku punya Aji-Aji yang membuatnya punya ilmu kebal dari serangan apapun." 

"Cerita dia masih selamat setelah di brondong peluru tentara Belanda sudah menjadi kebanggaan di keluarga besarku, tapi sebagai ganti dari ilmu itu anak keturunannya harus siap-siap dijadikan bayaran" kata waji sambil memasang muka geram. "Itu tidak adil tega sekali sih, lalu jika si Mbah buyutku tidak punya ilmu itu mana bisa dia hidup mana bisa simbah, bapakku, aku dan Amin juga lahir di dunia ini." Waji berteriak di depanku meluapkan emosinya. "Waji jangan bilang kau juga Belum tapi mungkin saja aku selanjutnya" kata bapak bahkan tujuh turunan pun belum tentu bayaran itu akan berakhir. Waji meremas rambutnya frustasi. "Aku sudah tak peduli lagi sekolah pak seperti teman-teman masa bodoh dengan mereka aku terlalu takut kenapa semua ini terjadi pada keluargaku" ucap waji. 

Pasrah

Warsi tak tahu harus berbuat apa. Dua temannya mengalami masa-masa sulit dan ia tak bisa berbuat apapun semua itu terjadi karena masa lalu. Sisi kelam yang selalu terjadi di Jumat Kliwon. Kepercayaan tak berdasar itu akhirnya hanya membawa petaka. Warsi dan teman-temannya pun telah termakan omongan leluhur dan hanya menjadi bidak tak bersalah yang dikorbankan tanpa tahu apapun. Sekolah yang memang sepi pada awalnya kini menjadi semakin sepi lagi setelah absennya Waji, Amin lalu warsi karena terlalu takut untuk kembali. Berbeda dengan Badran dan Rara yang rumahnya Lumayan dekat dengan sekolah dan tak harus melewati alas maupun jembatan. 

Pada masa itu sekolah memang bukan prioritas Selama masih hidup dan bisa cari makan Kenapa harus susah-susah sekolah. Warsi merasa bersalah pada Pak Kasim, satu-satunya guru yang aktif mengajar di sekolahnya. Tapi ketakutan itu lebih besar dari rasa bersalahnya.

Baiklah Sekian dulu episode kali ini Terima kasih buat teman-teman sekalian yang telah mendengarkan cerita ini jaga kesehatan dan sampai jumpa lagi di episode selanjutnya

Manusia biasa yang suka membaca, menulis dan berbagi

Posting Komentar